Banjarmasin,//propamnewstv.id Konseling kelompok spiritual-reflektif merupakan suatu bentuk layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan dalam suasana kelompok dengan tujuan mengembangkan kesadaran spiritual dan kemampuan refleksi diri Siswa.
Dalam tulisannya Dr H Jarkawi MMPd mengatakan, layanan ini tidak hanya berorientasi pada pemecahan masalah, tetapi juga diarahkan untuk membantu Peserta Didik menemukan makna hidup, memperkuat nilai moral, serta menumbuhkan ketenangan batin melalui olah hati. Konseling ini menekankan pengalaman langsung Siswa dalam merefleksikan kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menumbuhkan sikap positif dalam menghadapi tantangan.
“Dalam konseling kelompok, dinamika kebersamaan menjadi wadah bagi Siswa untuk saling berbagi pengalaman, mendukung satu sama lain, dan menemukan solusi atas persoalan hidup,” ujar Jarkawi.
Dikatakan, pendekatan spiritual-reflektif di sini berarti Siswa diajak untuk melakukan perenungan mendalam (tafakkur) serta penggunaan akal sehat (ta’aqqul) dalam melihat persoalan hidup. Menurut Ramdhani (2021), konseling yang memadukan dimensi spiritual dengan pendekatan reflektif dapat meningkatkan ketahanan psikologis serta memberi arah hidup yang lebih bermakna bagi Peserta Didik. Konseling kelompok spiritual-reflektif juga dipandang sebagai upaya preventif dan kuratif dalam mengatasi krisis nilai serta gejala degradasi moral yang dialami sebagian.

Generasi Muda. Dengan landasan filosofis religius dan humanistik, konseling ini mendorong Siswa untuk menyadari potensi diri, mengelola emosi, serta menumbuhkan sikap empati. Hal ini sejalan dengan pandangan Hasanah (2022) pembinaan spiritual dalam layanan konseling dapat menjadi strategi efektif dalam memperkuat karakter dan kesehatan mental remaja.
Secara teknis, konseling kelompok spiritual-reflektif dilaksanakan melalui tahapan pembentukan, peralihan, kegiatan inti, dan pengakhiran. Pada tahap inti, Siswa difasilitasi melakukan refleksi, diskusi, muhasabah, dan penulisan Jurnal Pribadi untuk memperdalam pengalaman spiritual. Pendekatan ini memberikan ruang yang aman bagi Siswa untuk mengungkapkan perasaan, merefleksikan kesalahan, dan menyusun rencana perubahan diri. Menurut Fitriyani (2023), refleksi diri dalam konseling berbasis spiritual terbukti efektif meningkatkan kesadaran diri dan motivasi intrinsik Peserta Didik.
Dengan demikian, konseling kelompok spiritualreflektif bukan hanya sebuah metode layanan bimbingan, tetapi juga sarana transformasi kepribadian. Melalui kombinasi pendekatan spiritual dan reflektif, Siswa dibimbing untuk menyeimbangkan dimensi intelektual, emosional, dan spiritual dalam kehidupannya. Hal ini relevan untuk menjawab kebutuhan pendidikan abad 21 yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga pentingnya pembinaan karakter, moral, dan olah hati.
Karakteristik Konseling Kelompok Spiritual-ReflektifKonseling kelompok spiritual-reflektif memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dari bentuk layanan konseling lain. Pertama, konseling ini berpusat pada pengembangan dimensi spiritual peserta, yaitu upaya membantu Siswa menemukan makna hidup, memperkuat iman, dan menumbuhkan ketenangan batin.
Kedua, pendekatan reflektif digunakan untuk mengajak Siswa melakukan perenungan mendalam (muhasabah) atas pengalaman hidupnya sehingga dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga.
Ketiga, konseling kelompok ini mengedepankan dinamika kebersamaan. Anggota kelompok tidak hanya
menjadi penerima layanan, tetapi juga saling berbagi pengalaman, saling mendukung, dan bersama-sama belajar
untuk tumbuh secara spiritual maupun emosional.
Keempat, karakteristik lain adalah adanya prinsip keterbukaan, kerahasiaan, kesukarelaan, dan kebersamaan yang dijaga oleh konselor maupun anggota kelompok.
Prinsip-prinsip ini menjadi dasar terbentuknya rasa aman dan nyaman dalam kelompok.
Selain itu, konseling kelompok spiritual-reflektif memiliki sifat integratif karena memadukan aspek psikologis, sosial, dan religius. Konselor tidak hanya
berperan sebagai fasilitator diskusi, tetapi juga sebagai teladan dalam menanamkan nilai-nilai spiritual. Menurut Suryani (2021), layanan konseling berbasis spiritual
memiliki ciri khas berupa adanya keterpaduan antara penguatan nilai moral dan proses refleksi diri yang mendalam, sehingga peserta tidak hanya menyelesaikan masalah psikologis tetapi juga memperoleh arah hidup yang lebih bermakna.
“Dengan karakteristik tersebut, konseling kelompok spiritual-reflektif sangat sesuai diterapkan di sekolah untuk membantu siswa menghadapi tekanan akademik, sosial, maupun pribadi. Siswa tidak hanya dibekali keterampilan menghadapi masalah, tetapi juga diarahkan untuk
mengelola hati dan pikiran secara bijak,” jelas Jarkawi. Hal ini, menurut Jarkawi, pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan psikologis dan
membentuk pribadi yang berkarakter kuat.
Esensi Konseling Kelompok Spiritual-Reflektif
Konseling kelompok spiritual-reflektif merupakan pendekatan dalam layanan bimbingan dan konseling yang
memadukan kekuatan perenungan spiritual dan olah pikir kritis untuk membimbing peserta didik menuju pemahaman diri yang utuh, kesadaran moral yang dalam, dan transformasi karakter yang kokoh. Esensinya terletak pada penggabungan dua potensi
utama dalam diri manusia menurut perspektif Islam akal (aql) dan
hati (qalb) sebagai instrumen utama dalam mengenali nilai, meresapi makna kehidupan, dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab.
Dalam kerangka Konseling kelompok spiritual-reflektif terdapat 2 teknik yakni Tafakkur dan ta’aqqul. Tafakkur berfungsi
sebagai sarana kontemplatif yang mengajak siswa untuk menyelami realitas hidup, memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya (ayat kauniyah), dan merefleksikan pengalaman personal sebagai bahan introspeksi diri. Sementara itu, ta’aqqul mendorong penggunaan akal secara aktif, sistematis, dan etis untuk menafsirkan pengalaman, menarik pelajaran, dan membentuk pandangan hidup berdasarkan prinsip kebenaran.
Ketika kedua proses ini diintegrasikan ke dalam dinamika konseling kelompok, terbentuklah ruang dialogis yang mendalam antara Peserta dengan dirinya sendiri, sesama Anggota Kelompok,
dan Tuhan.
Esensi spiritualitas dalam pendekatan ini tidak sekadar ritualistik atau dogmatis, melainkan transformatif dan
eksistensial. Artinya, peserta tidak hanya dituntun untuk memahami nilai secara teoritis, tetapi juga mengalami pergeseran cara pandang terhadap dirinya, relasinya dengan orang lain, dan misinya dalam kehidupan. Konseling tidak lagi dipahami sebagai ajang problem solving semata, tetapi sebagai ruang perjumpaan
dengan makna terdalam eksistensi manusia.
Dengan dasar itulah, konseling kelompok spiritual-reflektif tidak bertujuan menggantikan model-model konseling yang ada, melainkan memperkaya dimensi afektif dan spiritual yang selama
ini sering diabaikan dalam praktik layanan.
Dalam konteks Siswa SMA yang sedang berada dalam fase pencarian jati diri, krisis nilai, dan tekanan sosial yang tinggi, pendekatan ini hadir sebagai media penyadaran dan pemulihan integritas batin. Esensi inilah yang menjadi pembeda dan keunggulan utama pendekatan ini
dibandingkan model konvensional yang terlalu kognitif dan prosedural.
Landasan Filosofis dan Normatif
Landasan filosofis konseling kelompok spiritual-reflektif berpijak pada pemahaman tentang manusia sebagai Makhluk multidimensional, yang memiliki aspek fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Konseling ini memandang bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya proses transfer ilmu, tetapi juga pembinaan
keutuhan pribadi agar siswa mampu menghadapi kehidupan dengan bijak. Dalam perspektif filsafat pendidikan, pendekatan spiritual-reflektif menekankan pencarian makna hidup yang
mendalam, sehingga Siswa tidak hanya berorientasi pada capaian Akademik, melainkan juga pertumbuhan rohaniah.
Nilai Agama menjadi salah satu pondasi penting dalam konseling kelompok spiritual-reflektif. Ajaran Agama
memberikan pedoman moral yang dapat membantu Siswa menata perilaku dan menyelesaikan konflik batin. Konselor
dalam hal ini berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan Peserta kelompok untuk merefleksikan nilai-nilai ketuhanan
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hidayat (2022), penguatan aspek religius dalam layanan konseling dapat menjadi media efektif untuk mengatasi keresahan batin sekaligus memperkuat ketahanan mental Peserta Didik.
Selain Agama, nilai moral juga menjadi penopang utama. Konseling kelompok spiritual-reflektif berupaya menanamkan
kejujuran, tanggung jawab, empati, dan kepedulian sosial. Nilai moral ini menjadi pengikat sosial yang mampu menumbuhkan kerukunan diantara Siswa. Refleksi dalam kelompok memungkinkan Siswa menilai kembali tindakannya dan
menyadari konsekuensi moral dari setiap keputusan. Dengan demikian, konseling ini mendidik Peserta untuk menginternalisasi moral sebagai landasan bertindak.
Nilai sosial tidak kalah penting dalam membangun landasan konseling kelompok spiritual-reflektif. Melalui
interaksi kelompok, Siswa belajar saling menghargai perbedaan, bekerja sama, dan berbagi pengalaman. Proses ini sejalan
dengan tujuan pendidikan yang ingin mencetak Individu yang tidak hanya berkarakter baik secara pribadi, tetapi juga memiliki kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Dengan kata
lain, konseling kelompok spiritual-reflektif membantu Siswa membangun kesadaran sosial yang lebih luas.
“Dari sisi filosofis, konseling ini juga bersumber dari pandangan humanistik yang menekankan penghargaan
terhadap martabat manusia. Setiap Siswa dipandang sebagai pribadi unik yang memiliki potensi untuk berkembang,
sehingga konseling diarahkan untuk membantu mereka menemukan jalan pertumbuhan yang sesuai dengan nilai dan keyakinan mereka,” ungkap Jarkawi.
Menurut Prasetyo (2023), konseling yang
berlandaskan filsafat humanistik dan spiritual dapat menciptakan ruang aman bagi peserta untuk mengeksplorasi
diri dan mencapai aktualisasi diri yang bermakna. Normatifnya, konseling kelompok spiritual-reflektif
berlandaskan pada prinsip-prinsip universal seperti kebebasan, kesukarelaan, dan tanggung jawab. Prinsip ini memastikan, konseling dilakukan dengan menghormati hak Individu, menjaga kerahasiaan, dan menumbuhkan kepercayaan antar Anggota Kelompok. Nilai-nilai normatif ini tidak hanya menjadi pedoman teknis, tetapi juga etika yang mengikat Konselor dalam melaksanakan tugasnya.Dalam konteks pendidikan di Indonesia, landasan filosofis dan normatif ini selaras dengan tujuan pendidikan Nasional yang mengedepankan pembentukan Manusia yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, serta berilmu pengetahuan.
“Oleh karena itu, konseling kelompok spiritual-reflektif relevan untuk
dijadikan sebagai salah satu strategi pembinaan karakter di Sekolah. Hal ini menjadikan layanan konseling tidak sekadar pelengkap, tetapi bagian integral dari pembangunan manusia seutuhnya,” Jarkawi menegaskan.
Selain itu, katanya, landasan normatif juga dapat dikaitkan dengan regulasi pendidikan yang mendorong penguatan pendidikan karakter. Kebijakan tersebut memberikan legitimasi formal
bahwa konseling berbasis spiritual dan refleksi memiliki posisi strategis dalam dunia pendidikan. Menurut Wahyuni (2021), penguatan layanan konseling yang mengintegrasikan nilai moral dan spiritual sejalan dengan arah kebijakan pendidikan
nasional yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional. Dengan demikian, landasan filosofis dan normatif konseling kelompok spiritual-reflektif bukan hanya sekadar
dasar konseptual, tetapi juga pijakan praktis yang memberikan arah bagi pelaksanaannya. Melalui nilai Agama, moral, dan sosial yang dikontekstualisasikan dengan kebutuhan
pendidikan modern, konseling ini diharapkan mampu membentuk Generasi yang tangguh secara mental, matang
secara emosional, dan luhur secara spiritual.
Tujuan Konseling Kelompok Spiritual-Reflektif
Tujuan utama dari konseling kelompok spiritual-reflektif berbasis Tafakkur dan ta’aqqul adalah untuk membentuk pribadi
siswa yang utuh secara spiritual, emosional, dan intelektual.
Tujuan ini dicapai dengan memfasilitasi proses kontemplatif yang berakar pada nilai-nilai keislaman, sehingga Siswa mampu memahami dirinya secara lebih mendalam, mengenali nilai-nilai
moral yang luhur, serta mengembangkan kemampuan mengambil keputusan secara etis dan bertanggung jawab. Secara lebih
spesifik, pendekatan ini bertujuan untuk:
1. Menumbuhkan kesadaran diri (self-awareness) peserta melalui
perenungan terhadap pengalaman hidup dan Ayat-ayat Kauniyah.
2. Mengembangkan kemampuan berpikir reflektif, kritis, dan bernilai (value-based reasoning).
3. Mendorong transformasi spiritual yang tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga kognitif dan aplikatif dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Menumbuhkan komitmen moral berdasarkan kesadaran ruhani, bukan semata-mata karena pengawasan eksternal.
5. Memfasilitasi proses penyembuhan batin bagi Siswa yang mengalami kekosongan makna hidup, kecemasan eksistensial, atau tekanan sosial.
6. Meningkatkan kemampuan siswa dalam menghubungkan antara pengalaman hidup dan petunjuk Ilahi, sehingga terbentuk integrasi antara iman dan akal.
Tujuan-tujuan tersebut menjadi landasan filosofis sekaligus operasional dari setiap sesi konseling yang dijalankan, dengan
harapan terbentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara Akademik, tetapi juga bijak secara spiritual.
Fungsi Konseling Kelompok Spiritual-Reflektif
Fungsi dari konseling kelompok spiritual-reflektif ini tidak
hanya bersifat remedial, tetapi juga preventif, pengembangan, dan
transformatif. Pada fungsi remedial, konseling ini membantu
peserta didik yang mengalami krisis identitas, kecemasan, atau
kesulitan dalam pengambilan keputusan untuk menemukan kembali kekuatan batinnya. Fungsi ini sangat penting dalam merespon berbagai perilaku menyimpang atau masalah Pribadi yang berakar pada keterputusan nilai dalam diri peserta.
Fungsi preventif dari pendekatan ini terletak pada kemampuannya menumbuhkan benteng moral dan spiritual dalam diri Siswa, sebelum mereka terjerumus ke dalam perilaku negatif akibat tekanan lingkungan atau media sosial. Dengan kemampuan olah hati yang baik, Siswa mampu menilai situasi
secara bijaksana dan tidak mudah terpengaruh oleh godaan sesaat.
Fungsi pengembangan (developmental) muncul ketika pendekatan ini digunakan untuk membentuk potensi terbaik
dalam diri siswa, khususnya dalam aspek kepemimpinan nilai, empati sosial, dan tanggung jawab spiritual. Melalui dinamika kelompok dan teknik reflektif, siswa dibimbing untuk menumbuhkan visi hidup dan orientasi nilai jangka panjang.
Sementara itu, fungsi transformatif merupakan capaian tertinggi dari pendekatan ini, yaitu ketika konseling tidak hanya menyentuh perilaku, tetapi mengubah kesadaran dan pola pikir
siswa secara mendalam. Transformasi ini mencakup perubahan dari orientasi egosentris ke teosentris, dari responsif menjadi reflektif, dan dari konsumtif menjadi kontributif. Dalam fungsi
ini, konseling menjadi wahana pembentukan manusia utuh yang
sadar akan dirinya, Tuhannya, dan tanggung jawab sosialnya.
Prinsip Konseling Kelompok Spiritual-Reflektif
Konseling kelompok spiritual-reflektif berlandaskan pada prinsip-prinsip fundamental yang menyelaraskan antara nilainilai Islam, psikologi humanistik, dan dinamika kelompok.
Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi moral sekaligus metodologis dalam pelaksanaan setiap sesi.
a. Prinsip ketauhidan, yaitu meyakini bahwa segala peristiwa, termasuk masalah Pribadi yang dihadapi Siswa, adalah bagian dari skenario Ilahi yang mengandung hikmah. Konselor dalam
hal ini bertindak sebagai fasilitator spiritual yang membantu Siswa memahami pesan-pesan Tuhan dalam setiap pengalaman.
b. Prinsip keutuhan manusia (holistic human), yang menempatkan Siswa sebagai makhluk spiritual, sosial, dan
intelektual yang tidak bisa dipisahkan. Pendekatan ini menolak pandangan reduksionis terhadap peserta didik
sebagai sekadar Individu bermasalah, dan justru mengedepankan pengembangan potensi keseluruhan dirinya.
c. Prinsip kebebasan bertanggung jawab, yang memberikan ruang ekspresi kepada Siswa untuk mengungkapkan perasaan
dan pandangan secara jujur, namun tetap dalam kerangka etika dan tanggung jawab moral. Dinamika kelompok diarahkan untuk membentuk lingkungan yang aman, suportif, dan penuh kepercayaan.
d. Prinsip reflektivitas transendental, yaitu mengintegrasikan aktivitas berpikir kritis dengan kesadaran akan keberadaan
Tuhan. Setiap proses analisis atau evaluasi dalam sesi diarahkan untuk menghubungkan realitas hidup dengan nilainilai spiritual, sehingga terbentuk pemahaman yang bukan hanya logis, tetapi juga bermakna.
e. Prinsip nilai sebagai orientasi transformasi, dimana konseling tidak hanya bertujuan mengurangi gejala masalah, tetapi mengubah orientasi nilai peserta dari sekuler ke spiritual, dari individualistik ke sosial, dan dari pragmatis ke prinsipil. Pendekatan ini percaya bahwa perubahan yang
bertahan lama hanya mungkin terjadi ketika didasari oleh transformasi nilai.
Kemudian Pelaksanaan konseling kelompok spiritualreflektif harus berlandaskan pada prinsip-prinsip tertentu agar tujuan kegiatan tercapai secara optimal. Prinsip-prinsip tersebut
mencakup keterbukaan, kesukarelaan, kerahasiaan, dan kebersamaan. Keempat prinsip ini saling berkaitan dan menjadi
dasar etika sekaligus pedoman praktis dalam kegiatan konseling.
1. Prinsip Keterbukaan
Prinsip keterbukaan menghendaki setiap Anggota Kelompok bersedia menyampaikan pengalaman, perasaan,
dan pemikirannya dengan jujur. Tanpa keterbukaan, proses konseling akan kehilangan makna karena dinamika
kelompok tidak terbentuk secara alami. Contohnya, seorang Siswa yang mengalami kecemasan menghadapi
ujian dapat mengungkapkan perasaannya kepada kelompok. Dengan sikap terbuka, Siswa tersebut akan memperoleh dukungan moral dari Teman-temannya,
sekaligus masukan dari Konselor.
2. Prinsip Kesukarelaan
Keikutsertaan Siswa dalam konseling harus didasarkan pada kemauan Pribadi, bukan paksaan. Kesukarelaan membuat peserta lebih siap mengikuti proses konseling dan berkomitmen menjalankan refleksi yang disepakati bersama. Misalnya, ketika sekolah membuka program konseling spiritual-reflektif, siswa yang mendaftar secara sukarela biasanya lebih aktif berdiskusi dan mampu
menjalani kegiatan dengan kesadaran penuh. Hal ini berbeda dengan siswa yang hadir karena dipaksa, yang cenderung pasif dan sulit terbuka.
3. Prinsip Kerahasiaan
Semua informasi yang dibagikan dalam konseling kelompok wajib dijaga kerahasiaannya. Konselor dan
anggota kelompok berkewajiban untuk tidak menyebarkan cerita Pribadi yang diungkapkan dalam Forum. Contoh
penerapan prinsip ini adalah ketika seorang Siswa bercerita tentang konflik dalam Keluarganya, maka baik Konselor
maupun Anggota lain tidak diperkenankan membicarakan hal tersebut di luar kelompok. Kerahasiaan memberi rasa
aman dan meningkatkan keberanian Siswa untuk berbagi pengalaman.
4. Prinsip Kebersamaan
Kebersamaan menekankan, setiap Anggota Kelompok adalah bagian penting dari proses konseling. Konseling
kelompok tidak boleh didominasi satu Orang saja, melainkan menjadi wadah berbagi dan mendukung satu sama lain. Contohnya, ketika ada Siswa yang sedang menurun semangat belajarnya, Anggota lain dapat memberikan dukungan moral atau menceritakan pengalaman serupa. Suasana kebersamaan ini melatih
empati sekaligus memperkuat ikatan sosial antar Siswa.
“Keempat prinsip tersebut bukan hanya pedoman teknis, tetapi juga nilai yang harus diinternalisasi oleh Konselor
maupun Peserta,” Jarkawi kembali menegaskan..
Diingatkan, Konselor berperan memastikan semua prinsip dijalankan, misalnya dengan membuat kontrak
kelompok di awal pertemuan agar Peserta memaham








