PANDEGLANG // propamnewstv.id -Rencana Pemerintah Kabupaten Pandeglang bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) untuk kembali mengukuhkan 102 kepala desa yang masa jabatannya telah berakhir selama dua tahun terakhir, menuai kontroversi tajam. Pengukuhan ini didasarkan pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, meskipun secara hukum para kepala desa tersebut sebelumnya telah diberhentikan secara sah sesuai prosedur.
Langkah tersebut mendapat kritik keras dari kalangan akademisi. Iding Gunadi Turtusi, seorang pengamat kebijakan publik dan akademisi hukum, menilai bahwa dasar hukum yang digunakan dalam rencana pengukuhan ini lemah dan berpotensi menimbulkan instabilitas sosial.
“Dasar kebijakan ini hanya merujuk pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri. Secara hierarki hukum, surat edaran tidak memiliki kedudukan lebih tinggi daripada undang-undang. Menghidupkan kembali jabatan publik berdasarkan norma yang derajatnya di bawah undang-undang adalah kontradiksi hukum yang melemahkan legitimasi,” tegas Iding dalam keterangannya.
Ia menekankan pentingnya asas lex superior derogat legi inferiori, yakni hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Dalam konteks ini, Iding menilai kebijakan tersebut berisiko tinggi karena jabatan kepala desa bukan semata-mata bersifat administratif, tetapi juga politis.
“Kepala desa adalah pusat kekuasaan lokal yang mengatur distribusi sumber daya dan kebijakan desa. Mengangkat kembali 102 kepala desa di luar kerangka hukum yang kokoh sama saja dengan memantik potensi konflik yang selama ini terpendam,” ujarnya.
Di tingkat akar rumput, resistensi mulai terbentuk. Sejumlah kelompok masyarakat desa telah menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut dan melakukan audiensi langsung dengan DPRD Pandeglang.
“Fakta di lapangan telah menunjukkan adanya gerakan rakyat desa yang menolak kebijakan ini. Jika tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin akan terjadi konflik horizontal di tingkat desa,” tambah Iding.
Ia juga menyoroti potensi retaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah jika kebijakan ini dianggap sarat muatan politis dan mengabaikan prinsip keadilan serta partisipasi masyarakat.
“Dalam logika politik, kebijakan yang memecah belah masyarakat akan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah,” tegasnya.
Mengakhiri pernyataannya, Iding menyerukan agar pemerintah daerah lebih fokus pada agenda pembangunan desa, perbaikan tata kelola, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daripada terjebak dalam manuver politik yang berisiko tinggi.
“Lebih bijak jika energi politik diarahkan pada penguatan tata kelola pemerintahan desa dan pembangunan yang inklusif, bukan pada kebijakan yang justru dapat mencederai nilai-nilai demokrasi,” pungkasnya.
(Red)